Kita harus mulai bertanya secara kritis: transisi energi untuk siapa? Untuk masa depan hijau siapa? Apakah perempuan di Halmahera akan memiliki kendaraan listrik? Ataukah mereka hanya akan terus mengorbankan sungai dan tubuh mereka demi “Kemajuan” yang tidak pernah mereka nikmati? Di sinilah kehadiran negara dan komunitas internasional harus dipertanyakan: apakah mereka benar-benar peduli pada keberlanjutan, atau hanya mengubah wajah dari eksploitasi menjadi lebih ramah lingkungan secara retoris? Lebih dari itu, kita harus mengingatkan bahwa peringatan Hari Kartini tidak boleh berhenti pada seremoni.
Lebih dari itu, kita harus mengingatkan bahwa peringatan Hari Kartini tidak boleh berhenti pada seremoni dan bunga. Ia harus menjadi momen untuk merefleksikan bagaimana sistem sosial, politik, dan ekonomi terus gagal melibatkan perempuan sebagai subjek utuh. Di Maluku Utara, merayakan Kartini berarti mendengar suara perempuan desa, mendampingi perjuangan mereka, dan membongkar struktur yang merugikan mereka.
Pendidikan menjadi kunci penting dalam membangun kesadaran kritis. Sekolah-sekolah di kawasan lingkar tambang harus mulai membuka ruang untuk diskusi lingkungan, hak perempuan, dan sejarah lokal. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, harus diajak memahami bahwa pembangunan tidak netral, dan bahwa mereka berhak mempertanyakan segala bentuk kebijakan yang merusak tanah leluhur mereka. Kurikulum lokal yang memasukkan perspektif perempuan dan lingkungan dapat menjadi alat transformatif yang kuat.
Begitu pula media lokal harus menjalankan peran strategis. Mereka tidak boleh hanya menjadi corong korporasi tambang atau menyuarakan pemerintah tanpa kritik. Media harus menjadi ruang artikulasi suara perempuan bukan hanya sebagai korban, tetapi sebagai pemimpin, pemikir, dan agen perubahan. Liputan mendalam tentang dampak industri terhadap perempuan, kisah perjuangan komunitas, dan kritik terhadap kebijakan publik harus menjadi bagian dari kerja jurnalistik yang berpihak pada keadilan sosial.
Lembaga swadaya masyarakat dan organisasi perempuan juga harus memperkuat jaringan solidaritas lintas pulau, lintas wilayah. Gerakan perempuan di Maluku Utara tidak boleh dibiarkan sendiri. Mereka membutuhkan dukungan hukum, akses informasi, dan pendampingan psikososial. Dalam banyak kasus, perempuan yang berani bicara harus menghadapi tekanan sosial, intimidasi, bahkan kekerasan. Mereka membutuhkan sistem perlindungan dan penguatan kapasitas agar bisa terus berjuang tanpa takut.
Akhirnya, yang kita butuhkan adalah perubahan paradigma. Dari pembangunan yang eksploitatif ke pembangunan yang regeneratif. Dari pembangunan yang maskulin ke pembangunan yang adil gender. Dari pembangunan yang hanya menghitung keuntungan ekonomi ke pembangunan yang menghargai relasi sosial dan ekologi. Perempuan di Maluku Utara sudah menunjukkan arah ke sana. Tugas kita adalah mengikuti jejak mereka, memperkuat suara mereka, dan menjadikan mereka sebagai pusat dari setiap keputusan.
Hari Kartini seharusnya menjadi pengingat bahwa perjuangan belum usai. Bahwa meski suara perempuan sering dianggap lirih, ia tetap bergema dalam sejarah dan masa depan bangsa. Bahwa dari rahim ibu bumi yang terluka, lahir generasi yang berani melawan dan merawat harapan. Dan bahwa pembangunan sejati adalah pembangunan yang lahir dari keberanian mendengar mereka yang paling kerap dibungkam.