Dalam konteks teori kritis, pembangunan hanya akan menjadi adil jika ia menyentuh aspek relasional dan struktural dari ketimpangan. Artinya, pembangunan tidak boleh hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi atau jumlah pabrik, tetapi dari seberapa besar ruang yang diberikan kepada perempuan untuk bicara dan menentukan arah. Jika suara perempuan masih dianggap “lirih,” maka itu adalah kegagalan kita bersama sebagai bangsa, sebagai warga, dan sebagai pemangku kepentingan.
Kartini mengajarkan bahwa emansipasi bukan soal menjadi seperti laki-laki, tetapi menjadi manusia seutuhnya, perempuan di Maluku Utara berhak menjadi subjek pembangunan, bukan hanya objek program CSR. Mereka berhak atas tanah, air, pendidikan, dan masa depan yang lebih baik. Mereka berhak untuk tidak hanya bertahan hidup, tetapi hidup dengan martabat.
Kini, di tengah deru mesin dan suara alat berat, suara-suara perempuan itu masih terdengar, meski lirih. Mereka berbicara tentang luka, tentang harapan, dan tentang keberanian. Mereka adalah penjaga Ibu Bumi, yang tahu bahwa tanah tidak bisa terus dipaksa tanpa batas. Mereka adalah penulis sejarah baru, yang tahu bahwa suara mereka tidak bisa terus dibungkam. Mereka adalah Kartini hari ini yang tidak sekadar merayakan, tapi menuntut keadilan.
Dan kita semua punya tugas: untuk mendengar, mencatat, dan bergerak bersama mereka. Karena masa depan Maluku Utara tidak bisa dibangun di atas luka perempuan. Namun persoalan perempuan dan industrialisasi di Maluku Utara bukan hanya soal dampak langsung terhadap tubuh dan ruang hidup. Ia juga menyangkut represi epistemik di mana pengetahuan lokal, pengalaman perempuan, dan cara hidup komunitas adat dianggap tidak sah atau tidak relevan dalam logika pembangunan nasional. Ini yang disebut oleh Gayatri Spivak sebagai “cannot speak” dalam artikulasinya mengenai subaltern: perempuan, terutama yang berasal dari desa atau komunitas adat, kehilangan hak untuk menyatakan diri dalam bahasa kekuasaan yang dominan. Namun ketika perempuan desa berbicara tentang rusaknya sungai atau hilangnya sasi, suara mereka dianggap tidak ilmiah. Padahal, itu adalah pengetahuan yang diwariskan turun-temurun dan terbukti mampu menjaga keseimbangan ekologis.
Dalam konteks ini, suara perempuan bukan hanya soal perasaan atau emosi, tapi juga soal politik pengetahuan. Ketika negara dan korporasi mengandalkan kajian teknokratik untuk membenarkan ekspansi industri, mereka secara sistemik mengecilkan pentingnya pengalaman hidup perempuan. Maka yang terjadi bukan hanya pemiskinan material, tetapi juga pemiskinan kognitif di mana perempuan tidak lagi diakui sebagai pemilik pengetahuan atas tanahnya sendiri. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang paling halus dan paling sering diabaikan.
Kita perlu menyadari bahwa perempuan bukan hanya korban dari sistem ini, tetapi juga subjek yang aktif mengorganisir perlawanan. Di Desa Kawasi, Pulau Obi, misalnya. Perempuan menjadi garda depan dalam menyuarakan penolakan relokasi paksa akibat proyek tambang. Mereka berjalan kaki dari desa ke kota, membawa spanduk, membawa cerita, dan membawa luka yang tak tertulis dalam dokumen resmi. Di Halmahera Tengah, perempuan di desa-desa lingkar tambang IWIP mulai memetakan ulang wilayah adat mereka, bukan sekadar untuk menandai batas tanah, tetapi untuk menegaskan bahwa mereka punya sejarah dan hak yang harus dihormati.
Perlawanan ini tidak selalu dalam bentuk konfrontasi langsung. Ia bisa berwujud dalam ritual, dalam nyanyian adat, dalam cerita yang dibacakan di sore hari kepada anak-anak. Perempuan menggunakan bahasa sebagai alat politik: membangun narasi tanding terhadap mitos pembangunan yang maskulin. Mereka menyusun ulang relasi kuasa dalam ruang keluarga, komunitas, dan bahkan ranah publik menolak tunduk pada dominasi negara maupun pasar.
Teori ekofeminisme memberi kita alat untuk membaca hubungan antara tubuh perempuan dan tubuh bumi secara dialektis. Dalam pandangan ini, kerusakan alam dan penindasan terhadap perempuan saling terkait. Keduanya dilihat sebagai “sumber daya” yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Kapitalisme ekstraktif bekerja dengan logika penguasaan atas keduanya: memanfaatkan tubuh dan tanah tanpa mempertimbangkan regenerasi atau keseimbangan. Maka, melawan kerusakan lingkungan juga berarti melawan sistem patriarki yang menopang ekspansi industri tersebut.
Namun ekofeminisme yang kita butuhkan bukan versi lembut dan romantik tentang “perempuan sebagai penjaga bumi.” Kita memerlukan ekofeminisme yang radikal yang membongkar struktur politik dan ekonomi yang menjadikan perempuan dan alam sebagai objek penaklukan. Kita harus menggugat mengapa dalam setiap proyek tambang, perempuan tidak duduk di ruang negosiasi; mengapa tubuh mereka tidak dihitung dalam kerugian ekologis; dan mengapa pengalaman mereka tidak masuk dalam narasi pembangunan nasional.
Bahkan dalam konteks global, suara perempuan dari wilayah-wilayah pinggiran seperti Maluku Utara masih jarang didengar. Padahal, nikel dari Halmahera digunakan untuk baterai kendaraan listrik yang dijual di Eropa dan Amerika. Sementara itu, perempuan di sekitar tambang harus hidup dengan air kotor, debu nikel, dan ketidakpastian. Ini adalah bentuk ketimpangan global yang brutal. Ekologi lokal dikorbankan demi transisi energi global, dan perempuan adalah pihak yang paling menanggung bebannya.