KPK Malut Serukan Polemik Terkait Pembelian Eks Rumdis Gubernur, Diduga Bermasalah!

KPK Malut kembali soroti polemik pembelian Rumah Dinas Eka Gubernur.

TintaOne.com, Halsel – Kasus pembelian eks Rumah Dinas (Rumdis) Gubernur Maluku Utara (Malut) di Kelurahan Kalumpang terus disuarakan oleh koalisi anti Korupsi (KPK) Maluku Utara Senin (16/6/2025).

Pembelian aset milik pemerintah yang menelan APBD senilai Rp2,8 miliar itu sampai saat ini masih jalan di tempat.

Yuslan Gani mengatakan, pembelian lahan ini sebelumnya disidangkan di Pengadilan Negeri Ternate 2012 lalu. Noke Yapen selaku penggugat sertifikat kepemilikannya dinyatakan tidak sah atau ditolak alias kalah melawan Pemerintah Provinsi Maluku Utara sebagai tergugat.

“pembelian lahan ini diduga melibatkan sekda kota Ternate Rizal Marsaoly yang saat itu menjabat kepala dinas perkim,” ucap Yuslan dalam Orasinya.

Yuslan menyebutkan, penggugat kemudian menempuh langkah hukum satu tingkat diatasnya yakni, di Pengadilan Tinggi Maluku Utara.

Namun, upaya banding Noke kembali ditolak. Pengadilan Tinggi Maluku Utara memutuskan dan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Ternate Nomor 10/Pdt.G/2011/PN/Tte tertanggal 26 April 2012.

Merasa tak puas dengan dua putusan tersebut, Noke lalu mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Mirisnya, Noke justrus menelan pil pahit lantaran MA kembali menolak permohonan kasasi Noken Yapen.

Yuslan yang juga seketaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) Provinsi Maluku utara menguraikan, kasus beli eks rumah dinas gubernur merupakan perbuatan melawan hukum, termasuk tindak pidana korupsi.

Sebab kata dia, Pemerintah Kota Ternate membeli tanah kepada Noke Yapen sebagai pihak yang kalah di pengadilan. Kekalahan Noke tertuang dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 191/K/pdt/2013.

Parahnya, Pemkot Ternate melalui dinas perkim bayar lahan itu dengan alasan Noken menjual tanah karena Noken merasa miliki sertifikat eks kediaman gubernur itu dengan nomor 227 tahun 1972.

Padahal Mahkamah Agung telah menolak gugatannya. Amar putusan MA jelas disebutkan bahwa tanah dan bangunan eks kediaman gubernur adalah milik Pemerintah provinsi Maluku Utara, bukan milik pribadi Noken Yapen.

Sementara itu ketua Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Ternate Mursal Hamir menjelaskan, anggaran pembayaran lahan diduga menggunakan APBD tahun 2018.

Menurutnya, lahan tersebut dibayar melalui panitia pembebasan lahan yang dibentuk oleh Kepala Dinas Perkim Kota Ternate, Rizal Marsaoly (sekarang menjabat sekda Kota Ternate).

“Lahan itu dibayar pada 22 Februari 2018,” cakapnya singkat.

Lanjutnya, pembayaran lahan tidak mengacu Nilai Jual Obyek Pajak (Njop) atau NJOP sebagai patokan perhitungan. Panitia pembebasan lahan menentukan sendiri harga per meter tanah, dan per meternya dibayar Rp2.700.000.

“Uang pembayaran lahan dikirim melalui salah satu bank cabang di Manado yang ditransfer ke rekening atas nama Gerson Yapen. Bahkan, ada informasi menyebutkan Rp1 miliar lebih mengalir ke pihak lain,” ujarnya.

***