Opini  

Rasa dalam Piring, Arah dalam Pikiran

Agus Hi. Jamal/Akademisi UMMU Ternate.

Refleksi Filosofis tentang Makan Gratis dan Arah Pendidikan di Maluku Utara

Oleh ; Agus Hi Jamal

Di sebuah sekolah dasar di pesisir Halmahera, seorang anak duduk tenang menunggu bel berbunyi. Hari itu ia tampak lebih ceria dari biasanya hari makan gratis telah tiba. Selembar nasi dengan lauk sederhana tersaji di depannya. Ia makan lahap.

Namun, dalam ruang kelas yang sama, bukubuku yang sobek, papan tulis yang memudar, dan guru yang kelelahan mengajar lebih dari dua mata pelajaran menunjukkan bahwa sekolah bukan hanya soal makan. Ada sesuatu yang belum tersaji di meja pendidikan kita—rasa dan arah.

Ketika Piring Jadi Solusi

Program makan gratis, yang digulirkan dengan niat mulia untuk menekan angka putus sekolah, memperbaiki gizi siswa, dan menumbuhkan semangat belajar, memang patut diapresiasi. Di tengah meningkatnya angka kemiskinan dan ketimpangan wilayah, upaya negara menjangkau anak-anak miskin dengan satu piring makan adalah langkah yang tak bisa dianggap remeh. Namun, seperti filsuf Ivan Illich pernah menyoal soal institusi modern—ada risiko ketika “alat” (dalam hal ini makanan) dianggap cukup untuk menyelesaikan “tujuan” (pendidikan yang utuh).

Di Maluku Utara, khususnya di daerah-daerah pedalaman seperti Obi, Patani, atau Loloda, program makan gratis telah hadir tanpa kehadiran guru yang layak, kurikulum yang kontekstual, dan sistem evaluasi pendidikan yang berakar pada budaya lokal. Apakah cukup memberi makan agar anak-anak memahami dunia dan masa depan mereka?

Pendidikan Bukan Kantin Sosial

Pendidikan adalah ruang berpikir. Ia bukan sekadar ruang pemenuhan kebutuhan fisik, melainkan ruang perjumpaan antara individu dan masa depannya. Ketika negara mulai menyamakan keberhasilan pendidikan dengan banyaknya piring yang dibagikan, kita terjebak dalam logika populisme sosial: banyak = baik, kenyang = pintar.

Namun sejarah mencatat bahwa para pemikir besar tidak lahir dari perut kenyang saja.

Mereka lahir dari kegelisahan, dari rasa ingin tahu yang diasah oleh guru, oleh buku, dan oleh ruang diskusi. Di Maluku Utara, kita tak kekurangan anak cerdas. Kita kekurangan sistem yang menghormati kecerdasan sebagai potensi, bukan sekadar angka di atas daftar kehadiran makan siang.

Antara Rasa dan Rasa

“Rasa” dalam pendidikan bukan hanya soal rasa lapar yang ditunda oleh sepiring nasi. Rasa juga berarti kepekaan—kepada lingkungan, kepada ketimpangan, kepada sejarah, dan kepada nilai-nilai lokal yang mulai terkikis. Program makan gratis, jika tidak disertai dengan penguatan kurikulum lokal dan pelibatan komunitas adat, hanya akan melahirkan generasi yang kenyang tapi asing terhadap tanahnya sendiri.

Apakah anak Tobelo tahu cerita di balik ritual adat Jou Gumanano? Apakah anak Patani tahu bagaimana nenek moyangnya menjaga tanah sagu? Apakah kita menanamkan pendidikan sebagai pewarisan nilai, atau hanya sebagai sarana menuju lapangan kerja?

Kritik dari Dalam: Guru yang Terabaikan

Guru adalah jantung pendidikan. Namun di tengah hingar-bingar distribusi makan gratis, banyak guru di Maluku Utara masih berjuang dengan gaji yang tidak pasti, beban kerja yang tidak manusiawi, dan sistem administrasi yang lebih menghargai laporan daripada pengajaran. Di banyak sekolah, guru menjadi tukang absen makan gratis, menjadi koordinator logistik, bahkan menjadi sopir kendaraan dinas makanan.

Ketika guru kehilangan waktu mengajar demi mengatur nasi bungkus, pendidikan telah kehilangan prioritasnya. Kita seakan lupa bahwa yang membuat anak bertahan di sekolah bukan hanya makanan, tapi juga teladan, tantangan intelektual, dan hubungan emosional dengan gurunya.

Piring sebagai Simbol Politik

Tak dapat dipungkiri bahwa makan gratis juga merupakan strategi politik. Dalam banyak kampanye, “sejahtera” diukur dari seberapa banyak anak yang diberi makan, bukan dari seberapa banyak anak yang mampu menulis, berpikir kritis, atau memahami sejarahnya. Ini adalah wajah baru dari “politik perut”—politik yang menjadikan kenyang sebagai indikator keberhasilan.

Namun, jika tujuan jangka panjang adalah memajukan sumber daya manusia Maluku Utara, maka politik perut harus digantikan dengan “politik pikiran” kebijakan yang mendorong literasi, budaya baca, pelatihan guru, dan infrastruktur berpikir yang tahan lama.

Dari Perut ke Pikiran: Alternatif Jalan Tengah

Bukan berarti program makan gratis harus dihentikan. Justru ia harus dijadikan pintu masuk untuk reformasi menyeluruh. Berikut beberapa alternatif yang perlu dipikirkan:

1. Integrasi kurikulum lokal: Program makan gratis bisa disinergikan dengan pelajaran lokal, misalnya mengenalkan makanan khas daerah, budaya bertani lokal, dan kisah-kisah kuliner tradisional sebagai materi pembelajaran.

2. Pelibatan komunitas adat: Libatkan masyarakat desa dalam penyediaan bahan pangan lokal agar rantai makan gratis juga mendukung ekonomi lokal.

3. Pelatihan guru kritis: Latih guru agar mampu menggunakan program makan sebagai bahan refleksi sosial dan pemantik diskusi di kelasbukan sekadar rutinitas.

4. Penilaian berbasis konteks: Evaluasi keberhasilan program tak hanya lewat jumlah anak yang hadir, tetapi juga lewat indikator minat baca, diskusi kelas, dan partisipasi dalam

kegiatan sosial.

Maluku Utara di Persimpangan

Maluku Utara sedang berada di persimpangan sejarah: antara menjadi laboratorium industri nasional atau menjadi ruang pendidikan kritis berbasis kearifan lokal. Jika kita hanya mengandalkan makanan sebagai pendekatan tunggal, maka anak-anak kita akan kenyang hari ini namun lapar arah besok hari. Pendidikan bukan proyek logistik. Ia adalah proyek peradaban.

Di banyak desa yang saya kunjungi, orang tua masih berharap anak-anak mereka bisa sekolah bukan hanya agar dapat pekerjaan, tetapi agar dapat menjawab dunia. Namun dunia hari ini tak bisa dijawab dengan piring nasi saja. Ia butuh pikiran yang diasah, hati yang peka, dan sistem yang adil.

Penutup: Dari Dapur ke Ruang Kelas

Kita tidak menolak makan gratis. Kita menolak reduksi pendidikan menjadi sekadar soal makan.

Kita ingin pendidikan yang membangun cita rasa berpikir. Kita ingin ruang kelas yang lebih dari sekadar tempat duduk dan makan kita ingin ruang kelas yang menjadi tempat menanamkan harapan, menggugat realitas, dan membentuk masa depan.

Karena pada akhirnya, satu bangsa besar tak dibangun dari banyaknya nasi yang dibagi, tapi dari bagaimana pikiran anak-anaknya dilatih untuk merasakan dan berpikir. Dari rasa dalam piring ke arah dalam pikiran itulah pendidikan yang kita impikan untuk Maluku Utara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *